TIGA
PERIODE DALAM PERKEMBANGAN ISLAM
Pendidikan
Islam berkembang dengan pesat sejak dari peninggalan Rasulullah hingga sampai
pada masa kita saat ini. Banyak para tokoh Pendidikan Islam yang tampil sebagai
pembaharu. Dalam tulisan ini dibedakan menjadi tiga generasi, yaitu:
A. Abad Klasik
Abad klasik merupakan masa dimana
awal mulanya sebuah peradaban. Tokoh – tokoh dalam abad Klasik, yaitu :
1.
Al- Ghazali
a. Biografi Singkat
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus,
sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058 M. Imam Ghazali sejak
kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari
kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka
nestapa dan sengsara.
Al-Ghazali
pada masa kanak-kanak belajar Fiqh kepada Ahmad ibn Muhammad ar-Radzakani,
kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam Abu Nashr al-Ismaili.
Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang
diperolehnya dari Jurjan.
b.
Karya-karya
Di
tengah-tengah kesibukannya mengajar di Bahgdad Al-ghazali masih sempat
mengarang sejumlah kitab, seperti: Al Basitb, Al Wasitb, Al Wajiz, Khulasbab
Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi ilm al-jadal (Ilmu Berdebat), Ma’kbadz al-khalaf, Luba
al-Nadzar, Tasbin al-Ma’akbidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf.
c.
Pemikiran
Pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan
dan akhlak, dengan titik penekanannya pada Perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk
mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebagaimana yang dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam Ghazali
berpendapat “sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada
Allah Azza Wa Jalla”.
Al-Ghazali
tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti tradisi umum kaum sufi. Memang ia pernah menyebutkan bahwa
secara etimologi, ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan
atas pemakaian tema Ma’rifah untuk konsep (tasawuf), dan ‘ilm untuk assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya,
ia sering memakai dua terma itu sebagaiu arti yang sama.
Dari
hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa
tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Yaitu,
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan didunia dan akhirat.
Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada
sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir pendidikan itu. Tujuan ini tampak
bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Konsep
kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai
ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Gahazali ilmu terbagi kepada tiga bagian
yaitu; Pertama, ilmu yang terkutuk baik
sedikit manfaatnya, baik di dunia maupun diakhirat, seperti ilmu sihir, ilmu
nujum maupun ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena
ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat baik bagi yang
memilikinya maupun bagi orang lain. Kedua, ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang
erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang
berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat
menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya. Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam
kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam,
karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya
kekecauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan. Dalam menyusun
kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama
dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat
menentukan bagi kehidupan masyarakat.
2.
Ibn Sina
a. Biografi Singkat
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah. Di barat populer dengan
sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di Afshana, suatu
daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia tengah. Ayahnya bernama Abdullah
dari Balkan, Suatu kota termasyhur dikalangan orang-orang Yunani. Diwafatkan di
Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M) alam usia yang ke 58
tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
Tampilnya
Ibn Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung oleh tempat
kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagi
pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang luas biasa. Sejarah mencatat, bahwa
Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya,
Bukhoro. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajar adalah membaca Al-qur’an.
Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti
Tafsir, Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia
berhasil menghafal Al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada
usia yang belum genap sepuluh tahun.
b.
Karya-karya
Karya tulis Ibn Sina seperti kitab As-syifa’, An-Najab
dan Al-Qanun fi al-Thibb.
c.
Pemikiran
Pendidikan
Menurut
Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh
potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu
perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu juga harus
diarahkan pada upaya mempersiapkan seorang agar dapat hidup dimasyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai
dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya.
Konsep
kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina memiliki tiga ciri. Pertama, konsep kurikulum Ibn Sina
tidak hanya terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan
juga disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran tersebut,
dan kapan mata pelajaran itu harus diajarkan. Selain itu Ibn Sina juga sangat
mempertimbangkan aspek psikologis, yakni minat dan bakat para siswa dalam
menentukan keahlian yang akan dipilihnya. Dengan cara demikian seorang siswa
akan merasa senang atau tidak terpaksa dalam mempelajari suatu ilmu atau
keahlian tertentu. Kedua, bahwa strategi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina
juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional. Ketiga, strategi pembentukan
kurikulum Ibn Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat
dalam dirinya. Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep
kurikulum Ibn Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang
dikehendaki masyarakat modern saat ini.
3.
Ibn Miskawaih
a. Biografi Singkat
Nama
lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada
tahun 320 H / 932 M, di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar
tahun 412 H / 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan
Dinasti Buwaihi (320-450 H / 932-1062 M). Yang sebagian besar permukaannya bermazhab
syi’ah.
Dari
segi latar belakang pendidikannya, tidak dijumapi data sejarah yang rinci.
Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn
Kamil al-Qadi mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari
Abu Thayyib. Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn
Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidi anak para
pemuka dinasti Buwaihi.
b.
Karya-karya
Diantara
karya tulisnya adalah Risalah fi al-lazzat wa al-Alam, Risalah fi at-Thabi’at,
Risalah fi Jaubar an-Nafs, Maqalat an-Nafs wa al’-Aql, Fi Isbat as-Shuwar
al-Rubaniyat allati la Yabula Lana, min Kitab al-‘Aql wa al-Ma’qul, Ta’rif li
Miskawaib Yumayyizu bihi bain ad-Dabr wa az-Zaman, Tahzib al-Akhlaq wa Tahhir
al-A’raq dan Risalah fi Jawab fi Su’ali li
‘Ali ibn Miakawaih Ila Abi Hayyan as-Shauli fi Haqiqat al-‘Adl.
c.
Pemikiran
Pendidikan
Ibn
Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.
Disini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawaih dalam
bidang akhlak. Maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan
akhlak. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua
perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh
kebahagiaan sejati dan sempurna.
Untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal
yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan. Materi yang dimaksud oleh
Ibn Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibn
Miskawaih menyebutkan 3 hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan
akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia,
hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan
sesama manusia. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia
disebut oleh Ibn Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa’i. Selanjutnya
materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa dicontohkan
oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan
Allah dengan segala kebesarannya serta motivasi untuk senang kepada ilmu.
Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain,
dicontohkan dengan materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan dan lain-lain.
4.
Al-Qabisi
a. Biografi
Singkat
Abu al-Hasan
Ali bin Muhamad Khalaf al-Ma’afiri al-Qabisi, Lahir di Kairawan, Tunisia, bulan
Rajab 224 H, bertepatan dengan 13 Mei 936 M. mengenai gelar al-Qabisi, menurut
Al-Qdhi’iyah bahwa Abu Hasan (al-Qabisi) bukan berasal dari kabilah al-Qabisi,
akan tetapi karena pamannya selalu mengenakan sorban rapat-rapat dikepalanya,
dan perbuatan ini dianggap bertentangan dengan kebiasaan orang Qabisi, maka ia
diberi gelar al-Qabisi.
Riwayat
pendidikan Al-Qabisi terjadi pada masa perantauannya dibeberapa Negara timur
tengah, diantaranya Mesir. Afrika Utara, dan Tunisia pada tahun 353H/063M
selama lima tahun. Wafat 3 rabi’ul awal 403H/23 oktober 1012M.
Di mesir ia berguru kepada salah seorang ulama di
iskandariyah, di afrika utara ia memperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama
terkenal, seperti: Abul Abbas al-Ibyani, dan Abu hasan bin Masruf ad-Dhibaghi
dan Abu Abdillah bin Masrur Al-Ass’ali. Ketika ia berada ditunisia ia belajar
ilmu Fiqh kepada ulama mazhab Malikiyah, sehingga ia menjadi ahli fiqh.
Beberapa pengamat sepakat bahwa al-Qabisi adalah ulama yang terkemuka pada
zamannya dalam bidang fiqh dan hadits. Dengan demikian corak pemikiran
keislaman bersifat normative, dengan corak tersebut maka acuan yang digunakan
al-Qabisi dalam merumuskan pemikirannya dalam bidang pendidikan berparadigma
fiqh dengan berdasarkan Qur’an dan Hadits.
b.
Karya-karya
Salah
satu karyanya dalam bidang pendidikan yang berjudul Ahwal al-Muta’allimin wa
Ahkam al-Mua’alliin wa al-Muta’allimin.
c.
Pemikiran Pendidikan
Konsep
pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qabisi pada inti adalah pendidikan
anak-anak. Al-qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan
anak-anak yang berlangsung dikutub-kutub. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak
merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan
negara. Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh
kesungguhan dan ketekunan yang tinggi. Tujuan pendidikan al-qabisi menghendaki
agar pendidikan dn pengajaran dapat menumbuhkan kembangkan pribadi anak sesuai
dengan nilai-nilai islam yang benar. pendidikan akhlak. Al-Qabisi tidak hanya
sebatas pada pendidikan akhlak saja namun juga pengetahuannya tentang agama
harus diperdalam, dan juga pelajaran yang mendukung agar anak didik lebih mudah
memahami agama islam denga benar. Pelajaran yang mendukung anak didiknya
diantaranya adalah bahasa arab, ilmu hitung, syi’ir, ilmu nahwu dan lain
sebagainya. Pendidikan tersebut adalah bersifat akherati, al-Qabisi juga
memperhatikan pendidikan yang bersifat duniawi, diantaranya adalah memeberikan
pelajaran keterampilan, dan keahlian pragmatis agar nantinya seorang anak didik
tersebut dapat mencari nafkah untuk kebutuhan hidupnya dan juga didasari
landasan takut kepada Allah SWT.
B. Abad Pertengahan
Pada masa
pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari
intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam,
sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu,
dunia dengan akhirat. Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah
meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak
lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan
dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di Istanbul di
abad ke-16. Jadi dapat penulis simpulkan bahwa, Abad
pertengahan merupakan masa berkembangnya epistemologi (pengetahuan) dalam
sebuah peradaban. Yang dimana muncullah para pemikir pendidikan dalam abad
pertengahan, yaitu :
1.
Ibn
Kaldun
a. Biografi
Singkat
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, Afrika Utara, 27 Mei
1332 (Faghirzadeh,1982). Ibn
Khaldun merupakan pemikir dari dunia Arab, di saat dunia Arab mengalami
kemandegan. Ibn Khaldun yang bernama lengkap Abu Zaid Abd-Ar-Rahman Ibn
Khaldun, seorang sajarawan besar Islam pada abad pertengahan. Ibn Khaldun
dilahirkan pada 27 Mei 1332 (1 Ramadhan 732 H) di Tunis. Lahir dari
keluarga terdidik, Ibnu Khaldun mengenyam pendidikan Al-Qur’an, matematika, dan
sejarah. Sepanjang hayatnya, ia mengabdi kepada Sultan Tunisia, Maroko, Spanyol
dan Aljazair sebagai Duta Besar, penghulu kerajan dan anggota dewan
cendikiawan. Ia pun menghabiskan waktu selaama dua tahun di penjara Maroko
karena kenyakinannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin agama. Setelah
kira-kira dua dasawarsa menjalankan aktivitas politik, Ibnu Khaldun kembali ke
Afrika Utara, tempat ia melakukan studi dan menulis secara intensif selama lima
tahun. Karya yang dihasilkan selama kurun waktu tersebut melambungkan namanya
dan membawanya menjadi dosen di pusat studi Islam, Masjid Universitas Al-Azhar
di Kairo. Dalam kuliah masyarakat dan sosiologi yang banyak menarik minat itu,
Ibnu Khaldun menegaskan arti penting kesinambungan pemikiran sosiologi dengan
pengamatan sejarah.
Sampai dengan ia wafat tahun 1406, Ibnu Khaldun telah
menghasilkan banyak karya penting yang mengandung gagasan-gagasan yang memiliki
kesamaan dengan sosiologi kontemporer.
b.
Karya-karya
1) Untuk buku
pertamanya adalah Lubab al-muhassal.
2) Sebelum
menulis kitab al-I’bar, ada satu karyanya
yaitu Shifa’al-sa’il yang ia tulis selama ia singgah di
fez.
3) Kitab Muqaddimah.
4) Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa
al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab
Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup
Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta
Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka)
5) Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau
disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan
Autobiografi
c.
Pemikiran Pendidikan
1) Tujuan Pendidikan
Menurut
Ibn Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Diantara
tujuan pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tujuan
Peningkatan Pemikiran
Ibn
Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan
kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat
dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan ketrampilan. Dengan menuntut
ilmu dan kertrampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi
akalnya. Disamping itu, melalui potensinya akan mendorong manusia untuk
memperoleh dan melestarikan pengertahuan. Atas dasar pemikiran tersebut, tujuan
pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan
kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat
meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan
pengetahuan pada saat belajar.
b) Tujuan
peningkatan kemasyarakatan
Dari
segi peningkatan kemasyarakatan, Ibn Khaldun berpandapat bahwa ilmu dan
pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia. Ilmu dan pengajaran sangat
diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia kearah yang lebih
baik.
c) Tujuan
pendidikan dari segi keruhanian
Tujuan
pendidikan dari segi keruhanian adalah dengan meningkatkankeruhanian manusia
dengan menjalankan praktik ibadat, dzikir, khalwat (menyendiri) dan
mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah
sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.
2) Kurikulum Pendidikan dan Klasifikasi Ilmu
Ibn
Khaldun membuat klasifikasi ilmu dan menerangkan pokok bahasannya bagi peserta
didik. Ia menyusun kurikulum yang sesuai sebagai salah satu sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Hal ini dilakukan karena kurikulum dan
sistem pendidikan yang selaras dengan akal dan kejiwaan peserta didik akan
menjadikan mereka enggan dan malas belajar.
Berkenaan
dengan hal itu ibn Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam. Pertama kelompok
ilmu lisan (bahasa), kedua kelompok ilmu naqli: ilmu yang diambil dari kitab
suci dan sunnah Nabi. Ketiga, kelompok ilmu aqli: ilmu-ilmu yang diperoeh
manusia melalui kemampuan berfikir.
3) Prinsip-Prinsip Dalam Proses Belajar Mengajar
Ibn
Khaldun telah meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai suatu
hal yang sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa.
prinsip-prinsip tersebut secara garis besarnya meliputi beberapa hal sebagai
berikut:
a) Adanya
penahapan dan pengulangan secara berproses, yang harus disesuaikan dengan
kemampuan siswa dan tema-tema yang diajarkan secara bersamaan.
b) Tidak
membebani pikiran siswa. Dalam masalah ini Ibnu Khaldun menyetakan, bahwa
pemikiran manusia tumbuh dan berkembang secara berproses (bertahap).
c) Tidak
pindah dari satu materi kemateri lain sebelum siswa memahaminya secara utuh.
Seorang guru tidak dianjurkan berpindah pada materi yang baru sebelum ia yakin
bahwa siswanya telah paham terhadap materi pelajaran yang lalu. Hal tersebut
ditandai dengan bertambahnya tingkat kemampuan yang dimiliki oleh seorang siswa
dan daya kesiapan yang dimilikinya.
d) Lupa
merupakan hal biasa dalam belajar, dan solusinya adalah dengan sering mengulang
dan mempelajarinya kembali. Ibnu Khaldun dengan prinsip belajar-mengajarnya,
menghendaki agar seorang guru juga memperhatikan terhadap proses pendidikan
potensi yang dimiliki seorang siswa.
e) Tidak
bertindak keras terhadap siswa. Menurut Ibnu Khaldun tindakan keras atau kasar
terhadap siswa dapat menyebabkan munculnya sikap rendah diri, dan mendorong
seseorang memiliki perilaku dan kebiasaan buruk.
2.
Burhannudin
Az-zarnuji
a. Biografi
Singkat
Az-Zarnuji memiliki nama lengkap yaitu Burhanuddin al-Islam
Az-Zarnuji, almarhum hidup pada akhir ke-12 dan awal abad 13 yang kira-kira
tahun 591-640H/1195-1243 M). Pada zamannya beliau terlihat perkembangan
pendidikan Islam berpusat pada pada kota Bukhara dan Samarkan, pusat-pusat
bergulirnya proses pendidikan waktu itu masih memakai Mesjid-mesjid sebagai
lembaga institusi pendidikan.
Pemikiran Burhanuddin Az-Zarnuji tertuang dengan jelas pada
kitabnya yang berjudul Ta'allimu Ta'allim Thuruq al-Ta'allum(bimbingan bagi
penuntut ilmu pengetahuan)[3], dalam kitab ini terlihat bahwa telah membut
tentang konsep pendidikan sampai pada metode, prinsfi belajar, strategi
belajar, dan subtansi dari kaitan ini adalah kajian tentang penanaman moral.
b. Karya-karya
Az-zarnuji mempunyai karya sebuah
kitab ta’lim al-muta’allim thuruq al-ta’allum
c. Pemikiran
Pendidikan
Konsep
pendidikan yang dikemukakan az-zarnuji secara monumentul dituangkan dalam
karyanya ta’lim al-muta’allim thuruq al-ta’allum. Dari kitab tersebut dapat
diketahui tentang konsep pendidikan islam yang dikemukakan oleh az-zarnuji.
Kitab ini secara umum mencakup tiga belas pasal yang singkat-singkat, yaitu :
(1). Pengertian ilmu dan keutamaannya, (2). Niat dikala belajar, (3). Memilih
ilmu, guru, dan teman serta ketabahan dalam belajar, (4). Menghormati ilmu dan
agama, (5). Ketekunan, kontiunitas dan cita-cita luhur, (6). Permulaan dan
intensitas belajar serta tata tertibnya, (7). Tawakkal kepada Allah, (8). Masa
belajar, (9). Kasih sayang dan memberi nasihat, (10). Mengambil pelajaran,
(11).wara (menjaga diri dari yang haram dan syubhat), (12). Penyebab hafal dan
lupa, dan (13). Masalah rezeki dan umur.
Dari
ketiga belas pasal tersebut dapat disimpilkan kedalam tiga bagian besar. Sebuah
analisa yang diajukan abdul muidh khan dalam bukunya the muslim theories of
education during the ages, menyimpulkan bahwa inti kitab ini mencakup tiga hal
bidang pendidikan yaitu :
1) Pembagian
Ilmu
Az-zarnuji
membagi ilmu pengetahuan kedalam dua hal kategori. Pertama ilmu fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang setiap muslim secara
individual wajib mempelajarinya, seperti ilmu fiqh dan ilmu ushul (dasar-dasar
agama). Kedua ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu dimana setiap
umat islam sebagai suatu komunitas, buan sebagai individu diharuskan
menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi dan lain sebagainya.
2) Tujuan Dan
Niat Belajar
Mengenai
tujuan dan niat belajar, az-zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam
belajar adalah yang ditunjukkan untuk mencari keridhaan Allah, memperoleh
kebahagiaan diakhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang
lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran islam, serta mensyukuri nikmat
Allah. Jika masalah niat sudah benar, maka ia akan merasakan kelezatan ilmu dan
amal, serta akan semakin berkuranglah kecintaannya terhadap benda dan dunia.
3) Metode
Pembelajaran
Dari
segi pembelajaran yang dimuat az-zarnuji dalam kitabnya mencakup dua kategori,
yaitu; pertama, metode yang bersifat
etik antara lain mencakup niat dalam belajar, sedangkan yang kedua, metode bersifat teknik strategi meliputi
cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam
belajar.
3.
Ibn Jama’ah
a. Biografi
singkat
Nama
lengkap beliau adalah Badrudin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah
ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Beliau lahir di Hanwa, Mesir pada
malam sabtu, tanggal 4 Rabi’ul akhir, pada 639 H / 1241 M. Kemudian di usianya
yang memasuki 64 tahun, beliau wafat pada pertengahan malam akhir hari senin,
tanggal 21 Jumadil Ula tahun 733 H / 1333 M, dan dimakamkan di Qirafah Mesir.
Pendidikan awal beliau berasal dari ayahnya, Ibrahim Sa’ad Allah ibn
Jama’ah yang tak lain seorang ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain itu ia
pun pernah berguru kepada sejumlah ulama, diantaranya : ketika berada di Hammah
ia berguru kepada syaikh as-syuyukh ibn izzun, ketika di Damaskus ia berguru
kepada Abi al-yasr, dan ketika di Kairo ia berguru kepada salah seorang ulama
yaitu Taqy ad-Din ibn Razim. Berkat menempuh beberapa pengalaman pendidikan,
Ibn Jama’ah kemudian berhasil menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan, juru
dakwah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits, dan masih banyak lagi sejumlah
keahlian yang beliau miliki.
Ibn
Jama’ah hidup pada masa dinasti ayyubiyah dan mamluk. Dinasti ayyubiyah
dipimpin oleh Shalahuddin al-ayyubiyang menggantikan dinasti fathimiyah di
mesir. Namun pada masa itu, dinasti ayyubiyah ini jatuh ke tangan dinasti
mamluk. Dinasti mamluk ini dipimpin oleh seorang sultan yang pertama yaitu
Abyak dan sultannya yang terkenal berhasil mengalahkan Hulagu Khan yaitu Sultan
Baybars. Dengan usaha yang dilakukan sultan Baybars, mesir tidak mengalami
kehancuran sebagaimana yang dialami negeri islam lainnya.
b. Karya-karya
Ibn
jama’ah menulis beberapa kitab yaitu : kitab tadzkirat as-sami’wa
al-mutakallimin fi abad al-alim wa a-muta’ilim, kitab al-munhil al-rawy fi
‘ulum al-hadits al-nabawy, kitab idlah ad-dalil fi qath’i hujaj ahl-tawil.
c.
Pemikiran Pendidikan
Konsep pendidikan
yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya
Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Dalam
buku tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan orang
yang mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat
dikamukakan sebagai berikut:
1)
Konsep Guru /
Ulama. Menurut Ibnu Jama’ah
ulama sebagai mikro cosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai
tipologi makhluk terbaik (khairul Bariyyah). Beliau menawarkan sejumlah
kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan menjadi guru. Pertama,
menjaga akhlaq. Kedua, tidak menjaikan profesi guru sebagai usaha untuk
menutupi kebutuhan ekonominya. Ketiga, mengetahui situasi sosial
kemasyarakatan. Keempat, kasih sayang dan sabar. Kelima, adil dalam memperlakukan
peserta didik. Keenam, menolong dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari keenam kriteria tersebut, yang menarik
adalah tentang tidak bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatan
keuntungan material. Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi
logis dari konsepsinya tentang pengetahuan. Bagi beliau ilmu sangat agung lagi
luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan
pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu
sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukannya berarti telah
merendahkan keagungan pengetahuan (ilmu).
2)
Peserta Didik. Menurut Ibnu Jama’ah, peserta didik yang baik adalah mereka
yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan untuk memilih, memutuskan, dan mengusahakan
tindakan-tindakan belajar secara mandiri. Selain itu Ibnu Jama’ah tampak sangat menekankan
tantang pentingnya peserta didik mematuhi perintah pendidik, ia berpendapat
bahwa pendidik meskipun salah ia harus tetap dipatuhi, peserta didik juga tidak
dibenarkan untuk mempunyai gagasan yang tidak sejalan dengan pendidik. Pemikiran Ibnu Jama’ah tentang peserta didik ini
nampak kurang demokratis, namun pandangan ini tampak didasarkan pada sikapnya
yang konsisten dalam memandang guru atau ulama sebagai orang yang memiliki
kapasitas keilmuan yang patut di prioritaskan daripada peserta didik. Namun
demikian beliau sangat mendorong para siswa untuk mengembangkan kemampuan
akalnya, yaitu agar tekun dan betul-betul giat dalam mengasah kecerdasan
akalnya, serta menyediakan waktu tertentu untuk pengembangan daya
intelektualnya.
3)
Materi Pelajaran /
Kurikulum. materi pelajaran yang dikemukakan oleh Ibnu Jama’ah terkait
dengan tujuan belajar, yaitu semata-mata menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah, dan tidak untuk mencari kepentingan dunia atau materi. Tujuan semacam
inilah yang merupakan esensi dari tujuan pendidikan Islam yang sesungguhnya.
Materi pelajaran yang diajarkan harus dikaitkan
dengan etika dan nilai-nilai spiritualitas. Dengan demikian, ruang lingkup epistimologi
persoalan yang dikaji oleh peserta didik semakin luas, yaitu meliputi
epistimologi kajian keagamaan, dan epistimologi di luar wilayah keagamaan
(sekuler). Namun demikian kajian sekuler tersebut harus mengacu kepada tata
nilai religi. Apabila dibedakan
berdasarkan muatan materi dari kurikulum yang dikembangkan Ibnu Jama’ah ada dua
hal yang dapat dipertimbangkan. (1) Kurikulum dasar yang menjadi acuan dan
paradigma pengembangan disiplin lainnya (kurikulum agama dan kebahasaan). (2)
Kurikulum pengembangan yang berkenaan dengan materi non-agama, tetapi tinjauan
yng dipakai adalah kurikulum pertama. Dengan demikian kurikulum yang pertama
ini dapat memberikan corak bagi kurikulum kedua yang bersifat pengembangan.
Selanjutnya Ibnu Jama’ah memprioritaskan
kurikulum Al-Qur’an daripada yang lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Muhammad Fadhil al-Jamali yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab terbesar
yang menjadi sumber filasafat pendidikan dan pengajaran bagi umat Islam serta
Al-Hadits untuk melengkapinya.
4)
Metode
Pembelajaran. konsep Ibnu
Jama’ah tentang metode pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan ketimbang
dengan metode lain. Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan pada
akal untuk mendayagunakan secara maksimal proses berfikir, akan tetapi, hafalan
sesungguhnya menantang kemampuan akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan
pengetahuan yang didapat. Selain metode ini, beliau juga menekankan tentang
pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong kreativitas para siswa, menurut beliau
kegiatan belajar tidak digantungkan sepenuhnya kepada pendidik, untuk itu perlu
diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dapat mengembangkan daya kreasi
dan daya intelek peserta didik.
5)
Lingkungan
Pendidikan. Para ahli pendidikan sosial umumnya berpendapat bahwa
perbaikan lingkungan merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan-tujuan
pendidikan. Sejalan
dengan hal diatas Ibnu Jama’ah memberikan perhatian yang besar terhadap
lingkungan. Menurutnya bahwa lingkungan yang baik adalah lingkungan yang
didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis.
Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan yang ada
batas-batasnya. Lingkungan memiliki
peranan dalam pembentukan keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya
lingkungan yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi
lingkungan yang mencerminkan nuansa etis dan agamis.
C. Abad Modern
Periode Modern
(1800 M – dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya
Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam
mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode ini, muncul banyak para
pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan dalam Islam.
Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan
kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal,
tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Jadi dapat penulis simpulkan bahwa, Abad modern
merupakan masa berkembangnya peradaban dan pembaharuan pendidikan sesuai dengan
tuntutan zaman. Yang memicu timbulnya tokoh pembaharu (modernis) para pemikir
pendidikan dalam abad modern, yaitu :
1.
K.H Ahmad Dahlan
a. Biografi
singkat
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1
Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia
merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah
selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888,
ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke
Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada
Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun
1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo -
organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau
memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang
diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para
anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri
yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional
yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti
Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah
pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha
memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
b. karya-karya
1)
Rukuning Islan lan Iman.
2)
Aqaid, Salat, Asmaning Para
Nabi kang selangkung.
3)
Nasab Dalem Sarta Putra Dalem Kanjeng
Nabi.
4)
Sarat lan Rukuning Wudhu Tuwin
salat.
5)
Rukun lan Bataling Shiyam.
6)
Bab Ibadah lan Maksiyating
Nggota utawi Poncodriyo.
c. Pemikiran
pendidikan
Pendidikan menurut
K.H. Ahmad Dahlan hendaknya ditempatkan
pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Upaya
mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ini meliputi:
1)
Tujuan Pendidikan
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi
pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan
pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling
bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah
model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat ketimpangan tersebut
KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah
melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan
spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad
Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat)
merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi
alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum
sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2)
Materi pendidikan
Menurut Dahlan, materi pendidikan adalah pengajaran
Al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, Ilmu bumi, dan menggambar.
Materi Al-Qur’an dan Hadits meliputi; Ibadah, persamaan derajat, fungsi
perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran
Al-Qur’an dan Hadits menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan
peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, Demokratisasi dan
liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di
dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
3)
Metode Mengajar
Di dalam menyampaikan
pelajaran agama K.H. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran
agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus
diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Cara belajar-mengajar di
pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogan, madrasah Muhammadiyah
menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda. Bahan pelajaran di pesantren
mengambil dari kitab-kitab
agama saja. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan
pelajarannya mengambil dari kitab agama dan buku-buku
umum. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena
para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan antara guru-murid yang akrab.
2.
Hasan
Langgulung
a.
biografi singkat
Hasan Langgulung
dilahirkan di Rappang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Oktober
1934 dan wafat pada 2 Agustus 2008, di Kuala Lumpur, Malaysia. Semasa hidup,
beliau aktif dan mendedikasikan dirinya untuk kemajuan pendidikan dan kemajuan
bangsa. Beliau aktif mengajar dibeberapa Universitas, baik dalam negeri ataupun
luar negeri. Di Inggris pernah menjadi Visiting Scholar pada Cambridge
University 1986. Di Timur Tengah pada tahun 1958-1968 dan tahun 1968-1969,
pernah menjadi Headmaster pada Cairo Indonesian School. Tahun 1977-1978,
menjabat sebagai Visiting Professor di King Saudi Arabia. Dalam rangka
mengemban tugas mulia untuk mendedikasikan ilmunya pula ia mengunjungi Amerika,
Eropa, Australia, Jepang dan Negara ASEAN, seperti Malaysia di Universitas
Kebangsaan Malaysia (UKM).
Riwayat pendidikan Hasan Langgulung dimulai dari pendidikan formalnya
di Sekolah Dasar di Rappang Ujung Pandang tahun 1943-1949, kemudian melanjutkan
studinya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Islam di Ujung
Pandang tahun 1949-1952, tahun 1952-1955 ia melanjutkan ke Sekolah Guru Islam
Atas Ujung Pandang. Setamat dari pendidikan dasar dan menengah, Hasan
Langgulung melanjutkan studinya ke Mesir, yaitu di Islamic studies pada
fakultas Dar al-Ulum, Cairo University, tamat tahun 1962 dengan gelar Bachelor
of Art (BA). Kemudian pada tahun 1967, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya
pada jenjang strata dua (S2) dalam bidang psikologi dan Mental Hygiene di Eins
Shams University dengan gelar MA. Tidak puas dengan kemampuan yang telah
diperoleh, ia melanjutkan kembali studinya pada tingkat strata tiga (S3) di
bidang yang sama psikologi di University of Georgia Amerika Serikat dan tamat
pada tahun 1971.
Jika dilihat dari latar belakang pendidikannya dapat dipahami bahwa ia
menggeluti bidang psikologi yang erat kaitannya dengan pendidikan, maka tidak
heran jika kemudian ia sangat perhatian sekali terhadap pendidikan terutama
pendidikan islam. Ia adalah salah sesorang pemikir Muslim Asia Tenggara yang
banyak mencurahkan perhatiannya pada Islamisasi Ilmu Pengetahuan , terutama
pada bidang pendidikan dan Psikologi.Beliau berupaya untuk memadukan pemikiran
pemikiran barat modern dengan pemikiran Islam
b. karya-karya
beberapa
buku yang pernah ditulis hasan langgulung antara lain, yaitu : teori-teori
kesehatan mental, psikologi dan kesehatan mental disekolah-sekolah, suatu
analisis sosio psikologikal, beberapa tinjauan dalam pendidikan islam, manusia
dan pendidikan: suatu analisis psikologi dan pendidikan, pendidikan islam
menjelang abad ke-21, asas-asas pendidikan islam.
c.
Pemikiran Pendidikan
Pendidikan menurut Hasan
Langgulung, yang dalam bahasa inggris education dan dari
bahasa latin educere, berarti memasukkan sesuatu, barangkali
bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang, kalaulah ilmu itu memang masuk
di kepala. Dalam bahasa arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam
pengertian pendidikan. Dalam masalah ini, ada tiga kata yang sering digunakan oleh
pakar pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.
Pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, yaitu:
a)
Pendidikan dari segi pandangan
individu
Pendidikan
didefinisikan sebagai proses untuk menemukan dan mengembangkan
kemampuan-kemampuan melihat dan mendengar. Jadi pendidikan adalah proses
menampakkan (manifestasi) yang tersembunyi (latent) pada peserta didik.
b)
Pendidikan dari segi pandangan
masyarakat
Bahwa manusia memiliki
kemampuan-kemampuan asal dan bahwa kanak-kanan itu mempunyai benih dan dapat dicapai
oleh manusia, ia menekankan pada kemampuan manusia memperoleh pengetahuan
dengan mencarinya pada alam di luar manusia.
c)
Memandang pendidikan sebagai
suatu transaksi
Sebagai suatu interaksi
yaitu proses memberi dan mengambil antara manusia dan lingkungannya.
Kurikulum atau pendidikan hendaknya
mencakup materi yang berkaitan dengan pengembangan aspek fitrah peserta didik
yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan
bahasa, baik secara individual maupun kolektif yang dilakukan dengan cara
seimbang. Berkenaan dengan kurikulum atau isi pendidikian, Hasan Langgulung
membagi sumber ilmu kedalam empat bagian yaitu:
a)
Pancaindra, karena melaui pancaindra
dapat ditangkap kesan-kesan, dan pesan-pesan dari alam, jagat raya yang kemudian
disampaikan kepada akal untuk diolah menjadi ilmu pengetahuan.
b)
Akal yang dapat mencerna setiap
pesan yang disampaikan dengan metode tertentu.
c)
Intuisi, yaitu kekuatan batin yang
dapat menyerap pengetahuan dari Tuhan, atau merupakan pemindahan potensi
kedalam alam nyata tanpa usaha yang keras atau susah payah.
d)
Ilham, yaitu tanggapan emosi secara
langsung yang datang pada hati manusia.
Menurut Hasan Langgulung, kurikulum pendidikan juga
harus mampu mengembangkan potensi peserta didik, serta menciptakan suatu proses
belajar-mengajar yang dapat menjawab tantangan zaman.
Tujuan merupakan sesuatu yang
essensial bagi kehidupan manusia. Dengan adanya tujuan semua aktivitas dan
gerak manusia menjadi lebih dinamis, terarah dan bermakna. Disaat berbicara
tentang tujuan pendidikan, tidak boleh tidak membawa untuk berbicara
tentang tujuan hidup manusia. Manusia diciptakan Allah dan diberi
tugas untuk memikul amanah di permukaan bumi. Tujuan pendidikan itu hendaknya
sesuai dengan proses yang membentuk pandangan Islam terhadap pendidikan. Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Hasan Langgulung yaitu
keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang
yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia
yang rasional, perasaan dan indera. Tujuan terakhir pendidikan Islam merupakan
kristalisasi nilai-nilai ideal Islam yang diwujudkan dalam pribadi peserta
didik. Tujuan pendidikan Islam sejalan dengan tujuan hidup yaitu segala usaha
untuk menjadikan manusia menjadi‘abid inilah tujuan
tertinggi pendidikan Islam.
Agar proses pendidikan
terlaksana secara efektif dan efisien. Maka seorang pendidik dituntut untuk
mempergunakan berbagai macam pendekatan dan metode. Dan agar tujuan pendidikan
Islam itu tercapai menurut Hasan Langgulung metode pendidikan harus sesuai
dengan asas-asas pendidikan, antara lain :
1)
Asas
histori, yang mempersiapkan peserta didik dengan berpijak bagaimana
motode dari pengalaman masa lalu dengan apa yang digunakan untuk diterapkan di
masa sekarang.
2)
Asas sosial
yang memberinya kerangka budaya dari mana pendidikan itu bertolak dan bergerak
: memindah budaya, memilih, dan mengembangkannya. Dan metode yang digunakan
harus mengacu sesuai dengan kebudayaan yang diharapkan masyarakat dan peserta
didik itu sendiri.
3)
Asas ekonomi
yang memberinya perspektif tentang potensi-potensi manusia dan keuangan, materi
dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya, dan bertaggung jawab terhadap
anggaran belanjanya
4)
Asas politik, diharapkan metode yang digunakan dalam proses belajar
mengajar sesuai dengan ideologi (Aqidah) sehingga tujuan yang dicita-citakan
dan rencana yang telah dibuat tercapai.
5)
Asas
psikologi. Materi yang disajikan hendaknya dengan mengacu kepada psikologis
peserta didik, sehingga peserta didik bisa menerima materi dengan mudah.
6)
Asas-asas filsafat yang
berusaha memberinya kemampuan memilih yang lebih baik, memberi arah suatu
sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua asas-asas yang lain.
Menurut Hasan Langgulung,
pendidik adalah “Orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”;
mengarahkan dan mendidik peserta didik karena fungsinya sebagai pengarah dan
pembimbing dalam pendidikan. Selain sebagai pembimbing dan pemberi arah dalam
pendidikan, pendidik juga berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam
proses belajar mengajar, yaitu berupaya teraktualisasinya sifat-sifat Illahi
dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik guna
mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.
Peserta didik salah satu komponen dalam sistem
pendidikan islam berbeda dengan komponen-komponen lain, dalam system pendidikan
peserta didik adalah orang yang sedang berada dalam pase pertumbuhan dan
perkembangan baik secara fisik maupun pisikis, pertumbuhan dan perkembangan
merupakan ciri seorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang
pendidik.
3.
Syed Muhammad
Naquib Al-attas
a. Biografi
singkat
Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah salah seorang dari kalangan ahlu al-bait Nabi (keturunan Nabi Saw.), namun
bukan Syiah. Silsilah keluarganya dapat dilacak hingga ribuan tahun ke belakang
melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’lawi di Hadramaut
dengan silsilah sampai ke Imam Husein ra., cucu tersayang Rasulullah Saw. Nama
lengkapnya Syed Muhammad Naquib al-Attas ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas.
Lahir di Bogor Jawa Barat, pada 5 September 1931. Di antara leluhurnya banyak
yang menjadi ulama dan wali. Salah seorang di antara mereka adalah Syed M.
Al-‘Alaydrus (dari pihak ibu), guru dan pembinbing ruhani Syed Abu Hafs ‘Umar Ba-Syaibah
dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur ad-Din ar-Raniri salah seorang ulama
terkemuka di dunia Melayu. Ibunda Syed M. Naquib al-Attas adalah seorang wanita
yang berdarah priayi Sunda bernama Sharifah Raquan al-‘Alaydrus.
Dari
pihak ayah, kakek Syed M. Naquib al-Attas yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin
ibn Muhammad al-Attas adalah seorang ulama yang pengaruhnya tidak hanya terasa
di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab.
b. Karya-karya
Adapun
karya yang telah dihasilkan oleh al-attas yaitu : buku islam dan filsafat
sains, buku islam and seculerism, tesis raniry and the wujudiyyah of 17th
century aceh.
c.
Pemikiran Pendidikan
1)
Pengertian Pendidikan
Menurut
al-attas pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia, ini
adalah ta’dib. Jadi, adab adalah apa yang diterapkan kepada manusia bila ia
harus melakukannya dengan berhasil dan baik dalam hidup ini atau dihari
kemudian. Penekanan pada adab mencakup amal dalam pendidikan dan proses
pendidikan dimaksudkan untuk menjamin bahwa ilmu dipergunakan secara baik
didalam masyarakat.
Sedangkan
pendidikan dalam arti islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia, maka
pengenalan dan pengakuan mesti diterapkan. Jadi dapat dipahami bahwa, pemikiran
pendidikan al-attas lebih menekankan pada penanaman adab pada diri manusia
didalam proses pendidikan, yakni suatu pengenalan atau penyadaran terhadap
manusia akan posisinya dalam tatanan kosmik. Penekananan pada segi abad
dimkasudkan agar ilmu yang diperoleh diamalkan secar baik dan tidak
disalahgunkan menurut kehendak pemilik ilu, sebab ilmu tidak bebas nilai tetapi
sarat nilai, yakni nilai-nilai islam yang mengharuskan pemiliknya untuk
mengamalkannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
2)
tujuan pendidikan
Al-attas
dalm memformulasikan tujuan pendidikan islam seperti menitik beratkan pada
pembentukan aspek pribadi individu, tetapi tidak berarti mengabaikan
terbentuknya sebuah masyarakat yang idea. Sebagaimana dikemukakannya, karena
masyarakat terdiri dari perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian
besar diantaranya menjadi orang-orang baik, berarti pula menghasilkan suatu
masyarakat yang baik.
3) sistem
pendidikan islam
sistem
pendidikan islam harus mencerminkan aspek manusia itu sendiri. Perwujudan
paling tinggi dan sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Menurut
al-attas, universitas yang dirancang untuk mencerminkan yang universal, harus
pula merupakan pencermin manusia itu sendiri. Universitas islam tidak begitu
saja mencontoh universtas barat, sebab secara konseptual keduanya berbeda.
Al-attas menegaskan bahwa universitas islam harus mencerminkan pribadi
Nabi dalam hal ilmu pengetahuan dan
tindakan yang benar, yang berfungsi menghasilkan manusia laki-laki dan
perempuan yang kualitasnya sedekat mungkin menyerupai beliau, yakni manusia
beradab.